DJABARPOS.COM, Cimahi  – Anggota Komisi VIII DPR RI, Atalia Praratya, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menetapkan skema 50 siswa dalam satu kelas untuk jenjang SMA. Ia menilai kebijakan ini menunjukkan kurangnya empati terhadap kondisi guru dan siswa.

“Saya menyaksikan sendiri, 25 siswa dalam satu kelas itu sudah paling manusiawi. Bahkan 36 orang pun, sesuai batas maksimal aturan Kemendikdasmen, itu sudah cukup padat,” ujar Atalia saat ditemui di Cimahi, Kamis (31/7/2025).

Atalia mengaku menerima banyak keluhan dari para guru di daerah pemilihannya. Mereka merasa kewalahan menghadapi jumlah siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas.

“Bayangkan, 25 siswa saja sudah membuat guru kelimpungan. Sekarang 50? Ini usia remaja, masa-masa yang penuh dinamika. Tidak bisa disamaratakan begitu saja,” katanya.

Dampak dari kebijakan ini juga dirasakan langsung oleh para siswa. Kelas menjadi sesak dan tidak kondusif untuk proses belajar-mengajar.

“Mereka duduk berhimpitan, sulit bergerak, menulis pun tidak leluasa. Bahkan ada yang harus berbagi meja sempit dengan dua atau tiga orang lainnya. Bagaimana mereka bisa nyaman belajar?” tegas Atalia.

Sebagai perbandingan, Atalia menyebut sekolah-sekolah di bawah Kementerian Sosial seperti SRMP 08 Cimahi di Sentra Abiyoso, yang hanya menampung 25 siswa per kelas, jauh lebih ideal.

“Kalau bisa, pelajari sekolah-sekolah seperti itu. Ajak guru-gurunya berdiskusi sebelum mengambil keputusan penting. Kebijakan pendidikan jangan hanya soal angka, tapi juga soal kualitas,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa kebijakan seperti ini tidak boleh diambil tanpa mendengar suara dari lapangan.

“Saya minta kepada para pemimpin di negeri ini, pikirkan matang-matang sebelum menetapkan kebijakan. Jangan korbankan masa depan anak-anak hanya demi efisiensi yang semu,” tutupnya.

Sekolah Swasta Tercekik, Tamansiswa Bandung Hanya Dapat Satu Siswa Baru

Sebuah ironi menyakitkan tengah terjadi di dunia pendidikan Jawa Barat. SMA Tamansiswa Bandung, yang pernah mencetak atlet nasional seperti Taufik Hidayat, Eka Ramdani, dan Atep, kini hanya menerima satu murid baru tahun ini.

Bukan karena mutu buruk atau prestasi yang menurun, melainkan karena dampak kebijakan pendidikan yang disebut-sebut pro-rakyat namun justru mematikan sekolah swasta secara perlahan.

“Tahun ini, hanya satu yang tersisa. Dari 12 pendaftar, semuanya pindah ke sekolah negeri setelah kuota diumumkan. Kami kehabisan napas,” ujar Anwar Hadjah, Ketua Bidang Organisasi Yayasan Tamansiswa, Sabtu (26/7/2025).

Kondisi SMK Tamansiswa bahkan lebih tragis: tidak satu pun murid baru yang mendaftar. Kosong total. Sementara jenjang SMP hanya mampu menggaet enam siswa baru.

Situasi ini diperparah oleh kebijakan zonasi serta keputusan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menetapkan kuota 50 siswa per rombongan belajar (rombel) untuk sekolah negeri. Kebijakan ini, menurut pihak swasta, merampas sumber kehidupan mereka.

“Kebijakan ini bukan membina, tapi menenggelamkan. Kami dipaksa bersaing, tapi satu tangan kami diikat,” kata Anwar dengan getir.

Tamansiswa bukan lembaga sembarangan. Sekolah ini punya sejarah dan kontribusi besar dalam dunia pendidikan dan olahraga nasional. Namun kini, sekolah yang dulu bersinar itu berada di ambang mati suri. Bukan karena kalah bersaing, tapi karena sistem yang pincang.

Yayasan Tamansiswa kini harus memutar otak agar bisa bertahan: membuka pelatihan, kursus, dan memperkuat unit pendidikan yang masih hidup seperti TK Pandanwangi.

“Kalau terus begini, sekolah-sekolah swasta tinggal menunggu giliran jadi bangunan kosong. Ini bukan alarm lagi, ini sirene bahaya,” tegas Anwar.

Tamansiswa hanyalah salah satu contoh. Di bawah permukaan, gelombang kehancuran sistemik sekolah swasta tengah bergerak. Jika dibiarkan, akan tiba masa di mana hanya sekolah negeri yang tersisa—dan itupun dalam kondisi kewalahan.

Pendidikan bukan sekadar angka rombel, tapi soal keadilan dan keberlangsungan. Ketika pilihan dimatikan oleh sistem, yang mati bukan hanya sekolah, tapi masa depan generasi bangsa. (Arsy)

By Arsy 80

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *