“Bekerja dalam Diam, Diadili dalam Ribut: Nasib Sekda di Daerah”

Oleh: Roni Maulana Arsy – Jurnalis Media Djabar Pos

Di balik gemerlap baliho kepala daerah dan pidato-pidato penuh janji politik, ada satu sosok yang bekerja dalam diam tanpa tepuk tangan, tanpa sorotan kamera. Dialah Sekretaris Daerah, atau yang akrab disebut Sekda.

Iklan Djabar Pos

Sekda mungkin tak populer di mata publik, tapi tanpa dirinya, pemerintahan bisa pincang. Dialah otak di balik perencanaan, penggerak koordinasi, hingga penjaga denyut birokrasi agar tetap berdetak stabil, terukur, dan profesional.

Bekerja di Balik Layar, Tapi Hasilnya Nyata

Ketika masyarakat melihat jalan diperbaiki, pelayanan publik membaik, anggaran terserap tepat waktu, dan ASN bekerja lebih disiplin di sana ada jejak kinerja Sekda. Ia bukan eksekutor tunggal, tapi dialah dirigen yang menyatukan orkestrasi antarperangkat daerah.

Sekda bekerja tanpa panggung. Ia mengawal mulai dari dokumen teknis, sinkronisasi lintas dinas, sampai urusan reformasi birokrasi yang sering disepelekan tapi menentukan wajah pelayanan publik.

Beban Tugas : Berat di Bahu, Tipis di Sorotan

Sekda memimpin TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah), menjaga relasi dengan DPRD, menata struktur ASN, dan memastikan program-program kepala daerah tidak berhenti di meja rapat. Tapi anehnya, ketika pemerintahan sukses, nama Sekda jarang disebut. Sebaliknya, ketika ada sedikit saja masalah birokrasi, ia yang pertama kali disorot.

Ini seperti membersihkan rumah setiap hari, tapi tak pernah dianggap ada sampai suatu saat lantai kotor, dan jari langsung menuding sang pembersih.

Politik Mengintai di Ujung Tanda Tangan

Sekda adalah ASN karier, tapi posisinya tak steril dari politik. Ketika ia tegas pada aturan, dianggap kaku. Ketika ia netral, dianggap tidak loyal. Bahkan ketika ia sukses bekerja, bisa saja digeser hanya karena tak “sejalan secara emosional”.

Prosedur pemberhentiannya memang diatur harus lewat evaluasi dan persetujuan pusat. Tapi celah tafsir politik kerap menjadi pintu masuk. Sekda yang kritis bisa dipojokkan dengan dalih “penyegaran”. Padahal, yang dibutuhkan bukan penyegaran, tapi penghargaan atas kerja sunyi yang bermutu.

Saatnya Sekda Diberi Ruang dan Perlindungan

Kita bicara tentang figur yang tak hanya menyusun rencana, tapi menjaga agar sistem daerah tetap waras. Sekda bukan sekadar pembantu kepala daerah, tapi mitra berpikir dan pengendali birokrasi. Tanpa Sekda yang kompeten dan merdeka, kepala daerah bisa kehilangan arah, dan rakyat kehilangan layanan.

Sudah saatnya publik tahu dan menghargai peran Sekda. Sudah waktunya kepala daerah berhenti menganggap Sekda sebagai alat, dan mulai melihatnya sebagai penyeimbang.

Karena pada akhirnya, wajah birokrasi daerah bukan ditentukan oleh siapa yang paling banyak berbicara—tapi oleh siapa yang paling banyak bekerja. Dan dalam hal ini, Sekda pantas mendapat tempat terhormat.





Iklan Djabar Pos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *