Oleh: Roni Maulana Arsy (Jurnalis Media Djabar Pos)

Mereka datang bukan untuk menyakiti. Mereka hadir bukan untuk memusuhi. Tapi entah mengapa, setiap langkah Satpol PP di jalanan seolah selalu dianggap ancaman. Padahal, di balik baju dinas dan peluit itu, ada manusia yang juga ingin dihargai. Bukan robot. Bukan alat kekuasaan. Tapi abdi negara yang punya nurani.

Penegak Aturan yang Selalu Dianggap Salah

Setiap pagi, dengan rompi yang mulai usang dan kendaraan dinas seadanya, para anggota Satpol PP turun ke jalan. Mereka menegakkan Perda dan aturan yang dibuat oleh wakil rakyat dan pemda. Tapi saat mereka menertibkan lapak liar, mencopot spanduk ilegal, atau membubarkan kerumunan yang melanggar aturan, mereka justru disoraki.

“Kenapa kami yang selalu jadi kambing hitam? Kami hanya menjalankan tugas,” ujar seorang petugas muda Satpol PP di Bandung, matanya menatap kosong ke trotoar yang baru saja ia bersihkan dari lapak liar.

Bagi sebagian masyarakat, kehadiran Satpol PP lebih sering diasosiasikan dengan ‘penggusuran’ atau ‘pembubaran’. Padahal, yang mereka lakukan adalah bentuk nyata dari pelaksanaan regulasi yang dibuat demi keteraturan kota.

Antara Perintah dan Nurani

Tak mudah menjadi wajah dari kebijakan yang tidak populer. Saat menghalau PKL yang berjualan di bahu jalan, mereka sering berhadapan dengan tangisan ibu-ibu penjual gorengan, teriakan anak kecil, atau makian warga sekitar. Di situ, nurani dan kewajiban sering kali bertabrakan.

“Kadang hati kami menangis. Tapi kalau kami diam, kami dianggap tak bekerja,” ucapnya lagi.
Ironisnya, saat mereka bersikap terlalu lembut, dinilai tak tegas. Saat mereka bertindak sesuai SOP, dicap tak manusiawi.

Dicemooh di Medsos, Dilupakan dalam Berita

Potongan video penertiban yang tersebar di media sosial sering kali menunjukkan sisi panasnya saja. Tak jarang mereka disebut brutal, arogan, bahkan tak berperikemanusiaan. Padahal, pendekatan persuasif biasanya telah dilakukan berulang kali sebelum tindakan tegas diambil.

“Yang viral selalu sisi yang keras. Yang humanis? Tak ada yang rekam,” keluh seorang komandan regu di Cirebon.

Lebih menyedihkan, banyak pemberitaan hanya mengambil sudut dramatis tanpa menggali konteks. Tak ada ruang klarifikasi. Tak ada empati.

Tugas Berat, Fasilitas Terbatas

Mereka bertugas di bawah panas terik, hujan deras, bahkan di tengah bentrokan massa. Namun, tak semua dilengkapi perlindungan layak. Banyak anggota Satpol PP masih berstatus non-ASN, dengan gaji minim dan risiko kerja tinggi.

Mereka tak punya tongkat komando, apalagi rompi anti-peluru. Hanya topi, sepatu lars, dan keberanian. Tapi ketika dipanggil tugas, mereka tak menolak.

“Mungkin kami bukan pahlawan di atas kertas. Tapi kami tetap berdiri demi wajah tertibnya kota,” ucapnya tegas.

Saat Mereka Menolong, Tak Ada yang Menyorot

Ketika banjir melanda kota, Satpol PP turun ke lokasi, membantu evakuasi warga lanjut usia dan anak-anak. Saat terjadi unjuk rasa besar, mereka jadi tameng depan agar situasi tetap kondusif. Saat terjadi kebakaran, mereka membantu pengamanan jalur dan pengaturan lalu lintas. Tapi semua itu nyaris tak diberitakan. Mereka ada. Tapi sering tak dianggap.

Bukan Sekadar Seragam

Satpol PP bukan sekadar seragam cokelat dan pentungan. Mereka adalah simbol dari ketertiban kota, wajah dari regulasi, dan garda depan dari ketegasan yang terukur.
Sudah saatnya masyarakat berhenti memandang mereka dengan sebelah mata.
Karena di balik peluit itu, ada hati. Dan di balik teguran itu, ada tanggung jawab yang tak ringan.

Untuk Satpol PP di seluruh Indonesia, terima kasih telah berdiri, meski tak selalu disambut baik. Kami melihatmu. Kami mendengarmu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *