Taufik mengatakan, sebelum penetapan itu, pihak UNESCO telah melakukan penelitian dan pengamatan selama dua minggu di SAU. “Dan benar di sin angklung di sini mendidik, kita memproduksi angklung, menanam pohon bambu untuk konservasinya, jadi dari hulur dan hilir ada,” katanya.
“Kita bicara saung angklung bukan bicara fisik, tapi bicara roh budaya yang hidup,” ujar Taufik menambahkan.
Taufik mengatakan, SAU sendiri telah memberdayakan hampir 80 persen keluarga yang berada di lingkungan SAU di Padasuka, Kota Bandung. “Mereka merasakan sebagai bagian dari saung,” ujarnya.
Saat ini SAU terancam gulung tikar. Sejak COVID-19 merebak pada Maret 2020 lalu, jumlah pengunjung yang datang ke SAU merosot tajam. Dari rata-rata kunjungan 2.000 orang per hari, mendapatkan 20 kunjungan per minggu pun sulit.(Nino/Dadan)

