Oleh ; Roni Maulana Arsy
(Jurnalis Media Djabar Pos)
Sengketa lahan antara Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK) dan SMA Negeri 1 (SMAN 1) Bandung bukan hanya soal siapa yang memiliki hak atas tanah di Jalan Dago yang penuh sejarah itu. Di balik kasus ini tersembunyi sebuah pertanyaan besar yang relevan bagi kita semua : apakah kita mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah warisan sejarah kolonial tanpa mengorbankan masa depan generasi muda?
Perkumpulan Lyceum Kristen (PLK) adalah penerus dari Het Christelijk Lyceum (HCL), sekolah yang didirikan oleh misionaris Belanda pada tahun 1927 di Bandung. HCL, pada masanya, merupakan sekolah yang memberikan kesempatan pendidikan bagi kalangan non-pribumi yang kesulitan mengakses pendidikan formal yang disediakan oleh pemerintah kolonial. Sekolah ini bahkan menjadi tempat pendidikan bagi anak-anak Tionghoa, yang sering kali terpinggirkan oleh sistem pendidikan yang ada.
Namun, layaknya banyak lembaga pendidikan yang berdiri pada masa kolonial, HCL (dan kini PLK) mendirikan bangunannya di atas tanah yang bukan milik mereka secara sah, melainkan tanah yang diambil dari rakyat atau tanah adat yang dialihkan kepada negara kolonial. Di sinilah akar permasalahannya. Tanah yang digunakan untuk sekolah-sekolah kolonial sering kali tidak diberikan secara adil kepada warga lokal, melainkan menjadi bagian dari sistem yang menindas.
Pasca-kemerdekaan, banyak aset kolonial, termasuk sekolah-sekolah tersebut, kemudian dinasionalisasi. Pada 1958, tanah yang dulunya milik HCL diubah penggunaannya menjadi SMAN 1 Bandung, sekolah negeri yang kini telah mencetak ribuan lulusan dan menjadi kebanggaan kota Bandung. Namun, tidak ada yang benar-benar memperhatikan asal usul tanah tersebut. Tidak ada yang membahas tentang siapa yang seharusnya memiliki tanah tersebut, karena sistem kolonial itu sendiri tak pernah sepenuhnya diakui sebagai sumber ketidakadilan.
Kini, PLK menggugat hak pakai atas tanah yang selama ini digunakan oleh SMAN 1, dan pada April 2025, PTUN Bandung memutuskan untuk mengembalikan hak atas tanah itu kepada PLK, menyatakan bahwa Sertifikat Hak Pakai atas nama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tidak sah. Secara hukum, keputusan ini memang sah. Tetapi, apakah ini benar-benar mencerminkan keadilan sosial?
Di satu sisi, PLK berhak atas tanah tersebut secara hukum. Mereka adalah penerus sah dari HCL dan telah berjuang selama bertahun-tahun untuk mendapatkan kembali hak mereka. Namun, di sisi lain, SMAN 1 adalah lembaga pendidikan yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan banyak orang mulai dari siswa, guru, hingga alumni yang telah menjadikan sekolah itu simbol prestasi dan harapan. Pergantian tanah yang telah digunakan selama lebih dari 60 tahun untuk kepentingan pendidikan masyarakat ini tentu akan menciptakan dampak sosial yang besar.
Di tengah sengketa ini, kita juga harus mengingat bahwa tanah yang dipermasalahkan berasal dari sistem kolonial yang tidak adil. Keputusan hukum yang mengembalikan hak atas tanah kepada PLK harus dilihat dalam konteks sejarah. Tanah tersebut, yang pada awalnya diperoleh melalui kebijakan domein verklaring yang merugikan rakyat, seharusnya bukan hanya menjadi perdebatan antara dua pihak yang sah secara hukum, tetapi juga menjadi peluang untuk merumuskan keadilan sosial yang lebih besar.
Solusi yang Diperlukan : Keberlanjutan Pendidikan dan Keadilan Sejarah
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang turut berperan dalam menjaga keberlanjutan SMAN 1, tentu harus bertanggung jawab untuk mencari solusi yang tidak hanya berdasarkan dokumen hukum, tetapi juga melibatkan kepentingan sosial dan sejarah pendidikan. Gubernur Jawa Barat menyatakan komitmennya untuk memperjuangkan keberadaan SMAN 1, dan ini adalah langkah yang patut dihargai. Namun, ini adalah kesempatan untuk mencari jalan tengah yang berkeadilan, agar tanah yang dulunya menjadi simbol penindasan tidak merugikan masa depan anak-anak bangsa yang belajar di SMAN 1.
Kita harus belajar untuk tidak hanya melihat perkara ini sebagai perdebatan tentang kepemilikan tanah, tetapi juga sebagai cermin ketidakadilan yang pernah terjadi di masa lalu dan bagaimana kita bisa memperbaikinya. Tanah ini, meskipun secara hukum milik PLK, tidak bisa dipisahkan dari warisan sejarah kolonial yang melibatkan rakyat dan bangsa ini.
Pada akhirnya, pendidikan harus tetap menjadi fokus utama. Keputusan apapun yang diambil harus memastikan bahwa SMAN 1 tidak hanya tetap berdiri, tetapi juga bisa terus mencetak generasi muda yang siap menghadapi tantangan zaman. Pendidikan adalah hak bagi setiap anak bangsa, dan tidak boleh dipertaruhkan hanya untuk menyelesaikan sengketa lahan.