Axia bisa berlangsung pada satu malam atau bahkan lebih, sehingga bisa menjadi cara mendapatkan keturunan bagi wanita Suku Mosuo. Hal ini disebut dengan ‘pernikahan berjalan’. Anak yang lahir dari pernikahan berjalan akan diasuh oleh ibunya dengan bantuan saudara kandungnya.

Para pria di suku ini tidak memiliki tanggung jawab sebagai seorang ayah, seperti memberi nafkah atau tinggal bersama dan mendidik anak-anaknya. Tidak ada stigma dari masyarakat setempat bagi orang yang tidak mengetahui ayah biologisnya, sehingga menjadi hal yang wajar apabila masyarakat di suku ini tidak mengenal siapa ayah mereka.

Karena tidak punya kesempatan untuk hidup bersama dengan wanita yang dinginkan dan anak-anaknya, para pria akan memiliki hubungan yang erat dengan anak dari saudari mereka.

Dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi, anak-anak muda mulai pergi dari daerahnya dan bahkan menikah dengan orang-orang yang berasal dari daerah lain. Suku ini berada pada kondisi yang ‘terjepit’, karena masih bertahan dengan sistemnya di tengah kemajuan yang terjadi.

Para arkeolog berpendapat bahwa Mosuo bisa saja merupakan salah satu peninggalan sejarah yang berasal dari kondisi pernikahan di zaman dulu. Mungkin pria Mosuo dulunya adalah pedagang yang beraktivitas di daerah yang jauh dan tidak dapat bersama dengan keluarga untuk waktu yang lama, sehingga membuat gambaran atas pernikahan di suku Mosuo menjadi hilang.

Sumber : Kumparan

By Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *