DJABARPOS.COM, Bandung – Kementerian Dalam Negeri dan Tim Pembina Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Nasional tengah berfokus menyiapkan inovasi untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Hal ini dilakukan dalam rangka memaksimalkan pendapatan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dengan cara penyederhanaan layanan.
Terobosan tersebut menggandeng berbagai pemangku kebijakan terkait, di antaranya Pelaksana Harian (Plh.) Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kemendagri, Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan Direktur Utama (Dirut) Jasa Raharja.
Pertemuan antarstakeholders terkait terobosan tersebut dilaksanakan dengan menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) Pembina Samsat Tingkat Nasional Tahun Anggaran (TA) 2024. Rakor mengambil tema besar “Simplifikasi Pelayanan Melalui Samsat Digital Untuk Mewujudkan Indonesia Modern” yang berlangsung di Bandung, Jawa Barat, Kamis (11/1/2024).
Pelaksana Harian (Plh.) Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kemendagri Horas Maurits Panjaitan dalam kesempatan itu menekankan pentingnya sinergisitas antarstakeholder, khususnya dalam meningkatan pelayanan kesamsatan. Hal ini penting dilakukan untuk memberikan dan meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat melalui pengembangan inovasi Samsat berbasis digital.
“Pelaksanaan kolaborasi kemitraan dengan para stakeholder untuk memberikan nilai tambah bagi masyarakat dan menjadikan regident ranmor, pembayaran PKB, dan pembayaran SWDKLLJ sebagai persyaratan utama,” katanya.
Maurits mengungkapkan, inisiatif strategis yang dilakukan Tim Pembina Samsat untuk melakukan terobosan melalui simplifikasi pelayanan melalui samsat digital sangat efektif dalam upaya peningkatan pendapatan PKB. Tak hanya PKB, juga meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ). Dia menekankan, semua penerimaan tersebut nantinya akan kembali lagi kepada masyarakat.
Selain itu, Maurits menyampaikan Rakor tersebut menghasilkan usulan adanya relaksasi bagi wajib pajak yang membeli kendaraan bekas. Rencananya, pajak bea balik nama kendaraan atau Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas Kendaraan Bekas (BBN 2) akan dihapuskan karena dirasa memberatkan pemilik kendaraan.
“Kita juga mengusulkan ke Pemda, untuk menghapuskan BBN 2, pajak kendaraan untuk balik nama yang selama ini ada. Ini mengakibatkan tingkat kepatuhan masyarakat menjadi menurun, karena dia harus mengeluarkan cost ketika membeli kendaraan second,” ujar Maurits.
Menindaklanjuti hal tersebut, Maurits mengatakan, pemerintah daerah (Pemda) dapat menghapus pajak progresif kendaraan bermotor dan BBN 2. Pemerintah provinsi berwenang melakukan penghapusan pajak tersebut. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) yang telah mengatur penghapusan BBN 2.
Selain itu, pada Pasal 12 ayat (1) UU HKPD juga mengatur objek Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) hanya untuk penyerahan pertama atas kendaraan bermotor. Adapun di dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 juga sudah tidak mengenal penyerahan kedua, artinya untuk BBN 2 ini sudah dibebaskan atau tidak dikenakan tarif.
“Walaupun ketentuan untuk PKB dan BBNKB ini menurut UU ini berlaku tiga tahun sejak UU ini ditetapkan. Namun pemerintah provinsi dapat segera melakukan pembebasan ini karena pemerintah provinsi mempunyai kewenangan untuk memberikan pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak,” terangnya.
Maurits berharap, penghapusan pajak progresif akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Langkah ini merupakan strategi untuk menertibkan data kendaraan bermotor, meskipun diakui selama ini pemerintah provinsi sering memberikan keringanan berupa pemutihan. Namun kebijakan tersebut justru tidak efektif, mengingat masyarakat cenderung menunda pembayaran pajak karena menunggu pemutihan.
“Karena masyarakat yang mempunyai kendaraan lebih dari satu biasanya cenderung tidak mendaftarkan kepemilikan tersebut atas namanya, tapi menggunakan nama/KTP orang lain (untuk menghindari pajak progresif) sehingga Pemda tidak mendapatkan hasil dari pajak progresif tersebut. Selain itu, data regident kendaraan bermotor juga menjadi tidak akurat sehingga berpengaruh terhadap pendataan jumlah potensi data kendaraan bermotor,” tandas Maurits. (Arsy)